Quantcast
Channel: LAMPUNG MEDIA
Viewing all articles
Browse latest Browse all 12909

PUISI-PUISI RUDI SANTOSO

$
0
0

MENGENANG MASA KECIL

Kehidupan hanyalah panggung permainan

Dinikmati dengan gembira dengan tubuh yang berlumur tanah

Yang akan kembali ke tanah

 

Kekalahan tak di inginkan

Bertarung dengan lawan, kawan

Bertengkar, memusuhinya

 

Kawan dimasa kecil

Dengannya kehidupan

Gibul-meng-gibuli

Senag bersama

Bukan pelarian untuk kepentingan birahi

Seperti yang terjadi hari ini

Kawan menjadi tumbal kepentingan pribadi

Yogyakarta, 2017

 

PEMUDA ADALAH RAKYAT

Telah menyatu di tubuh pemuda

Kekuatan yang tidak akan membuatnya putusasa

Dari darah birunya yang perkasa

Rakyat menaruh nasib

Meminta pertolongan

 

Rakyat tertindas

Rumahnya di gusur berwajah melas

Tidur berpindah-pindah tempat

Koran dan kardus sebagai alas

Di tangan pemuda, rakyat berharap kemiskinan dan kesenjangan di tebas

 

Rakyat berseru

“Dimana keadilan bagi kami

Lahan pekerjaan hanya untuk mereka yang mempunyai ijazah

  1. Serjana juga banyak yang pengangguran”

 

Indonesia tidak membutuhkan orang yang kaya raya

Yang bisanya cuma makan di restoran

Di foto, lalu di apload di dunia maya

Tidak menjaga perasaan nasib saudara-saudaranya yang kelaparan

Yang mengamen di jalan

Yang dilupakan tuan-puan

Dan para pengemudi acuh untuk memberi recehan

 

Indonesia tidak membutuhkan orang-orang yang pintar

Lihai menjatuhkan kawan, rakyat, saudara dengan seribu akal dan nalar “korupsi

 

Kemerdekaan telah di gumamkan dengan lantang di 17 Agustus 1945

“Kemerdekaaan hasil pertaruhan darah

Anak istri di tinggal

Tak kenal cadasnya busur panah dan belati yang akan menghujam tubuh dan melumpuhkan

Darah mengalir deras bagaikan banjir yang membawa pepohonan dan ribuan rumah

 

Semangat para pahlawan tidak pernah surut seperti nelayan

Bersembunyi di tempat-tempat yang bau

Menjauh dari busur panah bahkan senapan yang siap menebas nyawa

Pemuda harus bermimpi

Mempunyai nyali

 

O, pemuda

Di tubuhmu semua kekuatan menyatu

Kekuatan untuk memasuki jurang yang penuh duri

Kemudian kau bisa naik kembali dengan darah birumu yang mampu ber-imajinasi tinggi

 

Sudah tak asing lagi dengan kalimat pemuda adalah harapan bangsa dan agen perubahan

Di pundakmu rakyat menitip nasib

Meminta pertolongan dari nasib buruk menjadi baik

 

O, pemuda

Kita harus bangkit untuk mengubah nasib ribuan orang

Yang malang

Yang kelaparan

Yang tak punya tempat tinggal

Karena meraka adalah wajah indonesia

Mereka terluka kita pun ikut terluka

 

Pemuda adalah rakyat

Berada di garda terdepan

menjadi pemimpin untuk mengawal perubahan

Yogyakarta, 2017

 

EDAN

Manusia-manusia telah mempersulit kehidupan

Dengan menanam keangkuhan di kepalanya

Saling mencaci antar sesama

Tidak bisa menerima dan mengerti tentng sebuah perbadaan

Lantas Aku harus bagimana.?

Diam membisu dengan bayang-bayang sejarah buruk

Atau bergerak menyuarakan tali persaudaraan dengan lantang sambil mengepalkan tangan

Sedangkan nyawaku akan terancam

 

Perilaku manusia bagaikan angin tidak menemukan arah

Seperti burung yang kebingungan mencari makan induknya

Zaman talah edan, menusia lebih memetingkan perkara dunia ketimbang mendekatkan diri kepada Tuhan

Sehingga mereka kebingungan untuk menemukan jalan pulang

Saudaranya menjadi tumbal amarah

Tidak henti-hentinya membangun istana megah keangkuhan di kepalanya dan di hatinya yang paling dalam

Waktu mereka di habiskan untuk membenci satu sama lain

Perbedaan, ras ,agama, budaya, bahasa, seakan menjadi alasan memperjuangkan sisa hidupnya di dunia, waktunya telah terbuang sia-sia untuk hal yang tabu dan buta

Bukankah lebih penting mengadukan diri kepada Tuhan tentang dosa-dosanya sendiri dan meminta maaf..?

Mendoakan mereka yang menurutnya salah agar mendapatkan hidayah-Nya

 

Pertikaian terjadi dimana-mana

Melihat musuh, amarah tak bisa ditahan untuk membalas rasa sakit hatinya

Terimalah sebuah perbedaan

Bukankah perbedaan itu indah.?

Kebenaran dirinya dan kelompoknya di suarakan dengan lantang

Padahal di hadapan Tuhan adalah mereka yang paling buruk

Semua yang dimliki orang lain telah di hancur dan dibinasakan

Bukankah ada yang lebih bijak dari permusuhan..?

Saling mengerti dan menghargai

Bukankah ada yang lebih mulia dari pertikaian.?

Saling bersaudara antar sesama dan Tuhan berjanji akan mempermudah rezeki kita

Tidak ada yang mengatahui tentang kebenaran, karena kebenaran mutlah milik Tuhan

dan tibalah masa, dimana ramalan Jayabaya tentang prikemanusian yang semakin hilang

Manusia-manusia berprilaku semaunya

Mementingkan pribadi dan kelompoknya

Manusia telah kehilang ruhnya

Terbang tanpa sayap

Kenyang tanpa makan

Darah tanpa tanpa luka

Seperti singa yang kelaparan

Marah melihat musuhnya

Ganas melihat mangsanya

Yogyakarta, 2017

 

PANAS DAN KELAPARAN

Lapar akan mengasingkan manusia dari kebaikan

Berdian di tempat-tempat yang sepi

Berseru tentang nasib perut

Menangis tersedu di wajah kelaparan

 

Para petani berangkat dengan tubuh kekar

Seberkas kekenyangan membentuk lukisan purba di bibirnya

Embun menyapa

Sebidang tanah di bentuk lubang tempat bertanam

Matahari menyapa

Hangatnya menguras tenaga

Keringat membasahi tubuh

Dibawah pohon yang rindang petani mengusap keringat didahinya

Sambil bergumam

“Panas adalah panah yang menancap secara pelan-pelan kedalam kenyang

Ujungnya membunuh pori-pori dan mematahkan tulang-tulang”

Setelah panas dan kelaparan digumamkan

Ia pun tak pernah merasa aneh dan dihujam

Sebab panas adalah desah nafas bagi setiap orang untuk terus bisa hidup

Dan kelaparan adalah saudara dari kenyang

Setelah kenyang adalah lapar

Jika lapar makan kembali

Tak usah digumamkan

Sebab anak kecil di jalan lebih berat menghadapi

Panas dan kelaparan

Yogyakarta, 2016

 

KABAR DARI WARUNG KOPI

Di warung kopi, aku merobek angkuh

Melihat orang-orang menikmati kopi yang pekat

Seperti peristiwa-peristawa yang terjadi di kota

Banjir

Gempa

Kebakaran

Kesenjangan sosial

Percakapan tidak pernah selesai

Mulutnya meyusun kata dengan suara lantang dan pelan

Dari warung kopi

Aku kabarkan kepada semua orang

Kota menebar duka

Meminta kasih sayang

Anak kecil hidup malang

Mengunpulkan uang recehan

Untuk mengubah nasib

Musim hujan

Loper koran bingung, linglung

Tak punya pekerjaan

Sedangkan dimusim panas

Para pembeli sepi

Anak tak punya susu

Menagis tersedu

 

Aku kabarkan dari wari warung kopi lewat puisi ini

Kepada semua orang yang bernasib baik

Berbaiklah antar sesama

Sebab kita adalah saudara

Yogyakarta, 2016

 

AKU INGIN MENAJADI KALIMAT DI DALAM DOAMU

Aku ingin menjadi kalimat di dalam doamu

Seperti Tuhan di bait pertama

Seperti Nabi di bait ke dua

Seperti bapak-ibumu di bait ke tiga

 

Aku ingin menjadi kalimat di dalam doamu

Yang ingin disemogakan

Seprti hidupmu yang ingin terselematkan

 

Aku ingin menjadi kalimat di dalam doamu

Menjadi harapan yang tidak pernah diputusasakan

Dengan bermcam kegundahan yang dirasakan

 

Aku ingin menjadi kelimat di dalam doamu

Yang selalu diminta kepada Tuhan

Untuk mendapatkan kebahagian

 

Sekalipun berada di kalimat terakhir

Aku ingin menjadi kelimat di dalam doamu

Sebab doa bukan tentang awal dan akhir

Yogyakarta, 2017

 

PUISI DAN RINDU DISEBERANG LAUTAN

Didalam puisiku ada pesan, kesakitan yang mendalam adalah ketika membayang wajahmu dengan segenap keyakinan bahwa “aku lelaki pelepas duka yang kau tulis di buku diaremu”

Laut selalu di takuti para nelayan

Gemuruh gelombangnya yang ganas

Di dadamu aku berlayar

Melewati betatuan

Menakutkan, lebih dari gemuruh gelombang

Kuberanikan diri

Sebab cinta dan rindu tidak takut pada apapun

tulis dalam buku diaremu bahwa kau akan berlayar dalam laut dadaku”

Demi tuhan

Kau perempuan yang kudamba

Yogyakarta, 2016

 

CINTA OKTOBER

1/

Satu tahun badai bersmusin dalam doa

Para malaikat membawa berita baik dan buruk

Cinta dan rinduku masih utuh untukmu

 

2/

pantai kesekuaan kita

Mencipta cita-cinta bersama

Yang bertumpu pada semoga

 

3/

Di oktober kita memulai kisah

Meng-akhir-i kisah

Kemudian berkisah kembali

-Kisah tentang aroma pantai

 

4/

Cinta seperti gelombang

Bermata tajam, bertubuh kekar

Ditakuti nelayan

Cinta seperti pantai

Aromanya kerap dirindu sepasang kekasih

Menjadi pelabuhan merubah nasib

 

5/

Doa-doa adalah pedang

Kita menginginkan memadu cinta diranjang satu

Dengan bungu-bunga mawar disampingnya

Yogyakarta, 2016

 

PERPISAHAN

Pamit itu cukup mengangetkan

Dimana kau harus pergi dengan cintamu yang mendalam

Cinta dan rindu yang kau putus

Tanpa sebuah pertemuan

Embun tak seperti biasanya

Sejuk nan indah

Tiba-tiba ia membunuh tawa

Mata berlinang air mata

Dada yang luka tak berdarah

 

Sunyi berbisik pada subuh

Kau akan kembali menemui

Dengan cinta dan rindu yang telah kau angkuhi sendiri

 

Kau datang kembali

Setelah sekian lama menepi dengan ilusi

 

Aku tulis rinduku pada puisi

Kepada kekejaman sunyi dan sepi

 

Kau kembali pergi

Ini cintaku yang belum puitis

Yogyakarta, 2017

 

WAKTU

Kita sudah berjalan menuju

Yang kelam

Yang terang

Menikmati kehidupan

Dengan secawan cinta

Kita merasakan pahit berserta manisnya

Dan kita sebut “Hidup Bersama”

 

Sepi dan sunyi adalah kejam

Lebih menakutkan dari birahi kita saat hujan

 

Kita tidak akan pernah letih menyebut shalat adalah do’a

Al-qur’an sebagai penenang hati

Dan puisiku sebagai ritual untuk memilikimu secara utuh

Yogyakarta, 2016

 

PUISI DAN DOA

Kau adalah puisi

Yang berdoa dikala hujan

Bercerita tentang malasnya orang bodoh untuk belajar

Aku mencintaimu dengan doa-doa

Semoga yang ingin disemogakan

Untuk digenggam

Yogyakarta, 2016

 

DI TAMAN ITU KITA SALING MENYEPAKATI UNTUK MENJADI SEPASANG KEKASIH

Tidak ada musim yang lebih romantis dari musim semi

Bunga-bunga bermekaran, menyejukkan hati nurani

Dingin dan sunyi kerap membawa aroma tubuhmu

Untuk dipeluk dan disetubuhi

 

Aku masih mengingat pertemuan denganmu di taman itu

Dimana bunga melati dihalaman rumahku

Menjadi saksi sesepakatan kita untuk menjadi sepasang kekasih

 

Tanpa pamit

Aku masuk ke hatimu dengan segenap kemaluan

Lambat laun kita saling merindu

 

Kita sama-sama bertemu di pojok sunyi

Dengan rindu kita saling bersembunyi

 

namamu masih berada dalam doa-doa

sekalipun kau pergi dengan ketidak setiaan

dan ketakutan

Yogyakarta, 2016

 

*Rudi Santoso, lahir di Sumenep Madura. Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Pendiri Kominitas Gerakan Gemar Membaca dan Menulis (K-G2M2). Beberapa puisinya termaktub dalam, Secangkir Kopi Untuk Masyarakat (2014), Sajak Kita (GemaMedia2015), Surat Untuk Kawanan Berdasi (2016), Ketika Senja Mulai Redup (2016,) Moraturium Senja (2016), Antologi Cerpen Muda Indonesia (Gema Media 2015), dan beberapa puisinya telah terbit diberbagai media cetak lokal dan nasional, buku puisi tunggalnya “Kecamuk Kota” (Halaman Indonesia 2016)

 

Cp                                             : 087838558867
NO REKENING                   : 0410-01-020462-50-0 An Rudi Santoso


Viewing all articles
Browse latest Browse all 12909