MENGENANG MASA KECIL
Kehidupan hanyalah panggung permainan
Dinikmati dengan gembira dengan tubuh yang berlumur tanah
Yang akan kembali ke tanah
Kekalahan tak di inginkan
Bertarung dengan lawan, kawan
Bertengkar, memusuhinya
Kawan dimasa kecil
Dengannya kehidupan
Gibul-meng-gibuli
Senag bersama
Bukan pelarian untuk kepentingan birahi
Seperti yang terjadi hari ini
Kawan menjadi tumbal kepentingan pribadi
Yogyakarta, 2017
PEMUDA ADALAH RAKYAT
Telah menyatu di tubuh pemuda
Kekuatan yang tidak akan membuatnya putusasa
Dari darah birunya yang perkasa
Rakyat menaruh nasib
Meminta pertolongan
Rakyat tertindas
Rumahnya di gusur berwajah melas
Tidur berpindah-pindah tempat
Koran dan kardus sebagai alas
Di tangan pemuda, rakyat berharap kemiskinan dan kesenjangan di tebas
Rakyat berseru
“Dimana keadilan bagi kami
Lahan pekerjaan hanya untuk mereka yang mempunyai ijazah
- Serjana juga banyak yang pengangguran”
Indonesia tidak membutuhkan orang yang kaya raya
Yang bisanya cuma makan di restoran
Di foto, lalu di apload di dunia maya
Tidak menjaga perasaan nasib saudara-saudaranya yang kelaparan
Yang mengamen di jalan
Yang dilupakan tuan-puan
Dan para pengemudi acuh untuk memberi recehan
Indonesia tidak membutuhkan orang-orang yang pintar
Lihai menjatuhkan kawan, rakyat, saudara dengan seribu akal dan nalar “korupsi”
Kemerdekaan telah di gumamkan dengan lantang di 17 Agustus 1945
“Kemerdekaaan hasil pertaruhan darah
Anak istri di tinggal
Tak kenal cadasnya busur panah dan belati yang akan menghujam tubuh dan melumpuhkan
Darah mengalir deras bagaikan banjir yang membawa pepohonan dan ribuan rumah
Semangat para pahlawan tidak pernah surut seperti nelayan
Bersembunyi di tempat-tempat yang bau
Menjauh dari busur panah bahkan senapan yang siap menebas nyawa
Pemuda harus bermimpi
Mempunyai nyali
O, pemuda
Di tubuhmu semua kekuatan menyatu
Kekuatan untuk memasuki jurang yang penuh duri
Kemudian kau bisa naik kembali dengan darah birumu yang mampu ber-imajinasi tinggi
Sudah tak asing lagi dengan kalimat pemuda adalah harapan bangsa dan agen perubahan
Di pundakmu rakyat menitip nasib
Meminta pertolongan dari nasib buruk menjadi baik
O, pemuda
Kita harus bangkit untuk mengubah nasib ribuan orang
Yang malang
Yang kelaparan
Yang tak punya tempat tinggal
Karena meraka adalah wajah indonesia
Mereka terluka kita pun ikut terluka
Pemuda adalah rakyat
Berada di garda terdepan
menjadi pemimpin untuk mengawal perubahan
Yogyakarta, 2017
EDAN
Manusia-manusia telah mempersulit kehidupan
Dengan menanam keangkuhan di kepalanya
Saling mencaci antar sesama
Tidak bisa menerima dan mengerti tentng sebuah perbadaan
Lantas Aku harus bagimana.?
Diam membisu dengan bayang-bayang sejarah buruk
Atau bergerak menyuarakan tali persaudaraan dengan lantang sambil mengepalkan tangan
Sedangkan nyawaku akan terancam
Perilaku manusia bagaikan angin tidak menemukan arah
Seperti burung yang kebingungan mencari makan induknya
Zaman talah edan, menusia lebih memetingkan perkara dunia ketimbang mendekatkan diri kepada Tuhan
Sehingga mereka kebingungan untuk menemukan jalan pulang
Saudaranya menjadi tumbal amarah
Tidak henti-hentinya membangun istana megah keangkuhan di kepalanya dan di hatinya yang paling dalam
Waktu mereka di habiskan untuk membenci satu sama lain
Perbedaan, ras ,agama, budaya, bahasa, seakan menjadi alasan memperjuangkan sisa hidupnya di dunia, waktunya telah terbuang sia-sia untuk hal yang tabu dan buta
Bukankah lebih penting mengadukan diri kepada Tuhan tentang dosa-dosanya sendiri dan meminta maaf..?
Mendoakan mereka yang menurutnya salah agar mendapatkan hidayah-Nya
Pertikaian terjadi dimana-mana
Melihat musuh, amarah tak bisa ditahan untuk membalas rasa sakit hatinya
Terimalah sebuah perbedaan
Bukankah perbedaan itu indah.?
Kebenaran dirinya dan kelompoknya di suarakan dengan lantang
Padahal di hadapan Tuhan adalah mereka yang paling buruk
Semua yang dimliki orang lain telah di hancur dan dibinasakan
Bukankah ada yang lebih bijak dari permusuhan..?
Saling mengerti dan menghargai
Bukankah ada yang lebih mulia dari pertikaian.?
Saling bersaudara antar sesama dan Tuhan berjanji akan mempermudah rezeki kita
Tidak ada yang mengatahui tentang kebenaran, karena kebenaran mutlah milik Tuhan
dan tibalah masa, dimana ramalan Jayabaya tentang prikemanusian yang semakin hilang
Manusia-manusia berprilaku semaunya
Mementingkan pribadi dan kelompoknya
Manusia telah kehilang ruhnya
Terbang tanpa sayap
Kenyang tanpa makan
Darah tanpa tanpa luka
Seperti singa yang kelaparan
Marah melihat musuhnya
Ganas melihat mangsanya
Yogyakarta, 2017
PANAS DAN KELAPARAN
Lapar akan mengasingkan manusia dari kebaikan
Berdian di tempat-tempat yang sepi
Berseru tentang nasib perut
Menangis tersedu di wajah kelaparan
Para petani berangkat dengan tubuh kekar
Seberkas kekenyangan membentuk lukisan purba di bibirnya
Embun menyapa
Sebidang tanah di bentuk lubang tempat bertanam
Matahari menyapa
Hangatnya menguras tenaga
Keringat membasahi tubuh
Dibawah pohon yang rindang petani mengusap keringat didahinya
Sambil bergumam
“Panas adalah panah yang menancap secara pelan-pelan kedalam kenyang
Ujungnya membunuh pori-pori dan mematahkan tulang-tulang”
Setelah panas dan kelaparan digumamkan
Ia pun tak pernah merasa aneh dan dihujam
Sebab panas adalah desah nafas bagi setiap orang untuk terus bisa hidup
Dan kelaparan adalah saudara dari kenyang
Setelah kenyang adalah lapar
Jika lapar makan kembali
Tak usah digumamkan
Sebab anak kecil di jalan lebih berat menghadapi
Panas dan kelaparan
Yogyakarta, 2016
KABAR DARI WARUNG KOPI
Di warung kopi, aku merobek angkuh
Melihat orang-orang menikmati kopi yang pekat
Seperti peristiwa-peristawa yang terjadi di kota
Banjir
Gempa
Kebakaran
Kesenjangan sosial
Percakapan tidak pernah selesai
Mulutnya meyusun kata dengan suara lantang dan pelan
Dari warung kopi
Aku kabarkan kepada semua orang
Kota menebar duka
Meminta kasih sayang
Anak kecil hidup malang
Mengunpulkan uang recehan
Untuk mengubah nasib
Musim hujan
Loper koran bingung, linglung
Tak punya pekerjaan
Sedangkan dimusim panas
Para pembeli sepi
Anak tak punya susu
Menagis tersedu
Aku kabarkan dari wari warung kopi lewat puisi ini
Kepada semua orang yang bernasib baik
Berbaiklah antar sesama
Sebab kita adalah saudara
Yogyakarta, 2016
AKU INGIN MENAJADI KALIMAT DI DALAM DOAMU
Aku ingin menjadi kalimat di dalam doamu
Seperti Tuhan di bait pertama
Seperti Nabi di bait ke dua
Seperti bapak-ibumu di bait ke tiga
Aku ingin menjadi kalimat di dalam doamu
Yang ingin disemogakan
Seprti hidupmu yang ingin terselematkan
Aku ingin menjadi kalimat di dalam doamu
Menjadi harapan yang tidak pernah diputusasakan
Dengan bermcam kegundahan yang dirasakan
Aku ingin menjadi kelimat di dalam doamu
Yang selalu diminta kepada Tuhan
Untuk mendapatkan kebahagian
Sekalipun berada di kalimat terakhir
Aku ingin menjadi kelimat di dalam doamu
Sebab doa bukan tentang awal dan akhir
Yogyakarta, 2017
PUISI DAN RINDU DISEBERANG LAUTAN
Didalam puisiku ada pesan, kesakitan yang mendalam adalah ketika membayang wajahmu dengan segenap keyakinan bahwa “aku lelaki pelepas duka yang kau tulis di buku diaremu”
Laut selalu di takuti para nelayan
Gemuruh gelombangnya yang ganas
Di dadamu aku berlayar
Melewati betatuan
Menakutkan, lebih dari gemuruh gelombang
Kuberanikan diri
Sebab cinta dan rindu tidak takut pada apapun
“tulis dalam buku diaremu bahwa kau akan berlayar dalam laut dadaku”
Demi tuhan
Kau perempuan yang kudamba
Yogyakarta, 2016
CINTA OKTOBER
1/
Satu tahun badai bersmusin dalam doa
Para malaikat membawa berita baik dan buruk
Cinta dan rinduku masih utuh untukmu
2/
pantai kesekuaan kita
Mencipta cita-cinta bersama
Yang bertumpu pada semoga
3/
Di oktober kita memulai kisah
Meng-akhir-i kisah
Kemudian berkisah kembali
-Kisah tentang aroma pantai
4/
Cinta seperti gelombang
Bermata tajam, bertubuh kekar
Ditakuti nelayan
Cinta seperti pantai
Aromanya kerap dirindu sepasang kekasih
Menjadi pelabuhan merubah nasib
5/
Doa-doa adalah pedang
Kita menginginkan memadu cinta diranjang satu
Dengan bungu-bunga mawar disampingnya
Yogyakarta, 2016
PERPISAHAN
Pamit itu cukup mengangetkan
Dimana kau harus pergi dengan cintamu yang mendalam
Cinta dan rindu yang kau putus
Tanpa sebuah pertemuan
Embun tak seperti biasanya
Sejuk nan indah
Tiba-tiba ia membunuh tawa
Mata berlinang air mata
Dada yang luka tak berdarah
Sunyi berbisik pada subuh
Kau akan kembali menemui
Dengan cinta dan rindu yang telah kau angkuhi sendiri
Kau datang kembali
Setelah sekian lama menepi dengan ilusi
Aku tulis rinduku pada puisi
Kepada kekejaman sunyi dan sepi
Kau kembali pergi
Ini cintaku yang belum puitis
Yogyakarta, 2017
WAKTU
Kita sudah berjalan menuju
Yang kelam
Yang terang
Menikmati kehidupan
Dengan secawan cinta
Kita merasakan pahit berserta manisnya
Dan kita sebut “Hidup Bersama”
Sepi dan sunyi adalah kejam
Lebih menakutkan dari birahi kita saat hujan
Kita tidak akan pernah letih menyebut shalat adalah do’a
Al-qur’an sebagai penenang hati
Dan puisiku sebagai ritual untuk memilikimu secara utuh
Yogyakarta, 2016
PUISI DAN DOA
Kau adalah puisi
Yang berdoa dikala hujan
Bercerita tentang malasnya orang bodoh untuk belajar
Aku mencintaimu dengan doa-doa
Semoga yang ingin disemogakan
Untuk digenggam
Yogyakarta, 2016
DI TAMAN ITU KITA SALING MENYEPAKATI UNTUK MENJADI SEPASANG KEKASIH
Tidak ada musim yang lebih romantis dari musim semi
Bunga-bunga bermekaran, menyejukkan hati nurani
Dingin dan sunyi kerap membawa aroma tubuhmu
Untuk dipeluk dan disetubuhi
Aku masih mengingat pertemuan denganmu di taman itu
Dimana bunga melati dihalaman rumahku
Menjadi saksi sesepakatan kita untuk menjadi sepasang kekasih
Tanpa pamit
Aku masuk ke hatimu dengan segenap kemaluan
Lambat laun kita saling merindu
Kita sama-sama bertemu di pojok sunyi
Dengan rindu kita saling bersembunyi
namamu masih berada dalam doa-doa
sekalipun kau pergi dengan ketidak setiaan
dan ketakutan
Yogyakarta, 2016
*Rudi Santoso, lahir di Sumenep Madura. Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Pendiri Kominitas Gerakan Gemar Membaca dan Menulis (K-G2M2). Beberapa puisinya termaktub dalam, Secangkir Kopi Untuk Masyarakat (2014), Sajak Kita (GemaMedia2015), Surat Untuk Kawanan Berdasi (2016), Ketika Senja Mulai Redup (2016,) Moraturium Senja (2016), Antologi Cerpen Muda Indonesia (Gema Media 2015), dan beberapa puisinya telah terbit diberbagai media cetak lokal dan nasional, buku puisi tunggalnya “Kecamuk Kota” (Halaman Indonesia 2016)
Cp : 087838558867
NO REKENING : 0410-01-020462-50-0 An Rudi Santoso